Maut mengintai nyawa mereka dalam perjalanan dinas ke Solo. Detik-detik kematian berdenyut dalam nadi mereka. Lion Air JT 538 dari Jakarta dengan tujuan Solo mengalami kecelakaan tragis. Namur bersamaan dengan itu muncul juga kejadian mujizat.
Didik Julaidi adalah reporter di salah satu televisi swasta yang pada saat itu tengah mendapat tugas diputan ke Solo. 30 November 2004 menjadi hari yang tidak dapat dilupakannya.
Pagi hari kami persiapan berangkat ke kantor, ada perasaan gelisah. Saya tidak tahu kenapa bisa begitu. Seperti perasaan orang yang mau mati, seperti mau pergi jauh gitu.
Didik merasakan satu hal yang aneh ketika menunggu rekan kerjanya, Muhamad Rahmani yang bertugas sebagai kameramen.
Saya harapkan saya berangkat dari kantor jam dua dan sampai di bandara sekitar jam 3. Saya tidak tahu kenapa pada hari itu Mohamad Rahmani itu mengulur-ulur waktu.
Sungguh suatu permulaan yang buruk untuk berangkat ke Solo, seperti menandakan bahwa alam baka siap menantinya. Kemujuran sepertinya tidak berpihak lagi pada Didik, akibat keterlambatan tiba di bandara maka keinginan untuk mendapatkan kursi yang paling depan tak terpenuhi. Mohamad Rahmani, rekan Didik mengingat bagaimana mereka tidak bisa mendapatkan bangku depan waktu itu.
Mohammad Rahmani Pas saya ke counter check itu, tiba-tiba ada perempuan mendahului saya, menyerobot. Ketika check in, Didik bertanya pada saya : "Dapat nomor berapa?". Saya berkata nomor 33, kami duduk di belakang. Didik sempat bertanya : "Kenapa nggak minta di depan?". Saya bilang kalau duduk di depan terjadi kecelakaan maka kita duluan yang mati.
Didik punya anggapan sendiri saat itu Kalau duduk di depan kan begitu sampai bisa duluan. Saya juga bilang kalau kecelakaan jatuh di bagian belakang, maka kita yang duduknya di belakangpun bisa duluan mati.
Cuaca mendung melingkupi awan Jakarta. Pesawat Lion Air yang seharusnya berangkat pada pukul 17.00 mengalami penundaan sehinga keberangkatan baru dilakukan pada pukul 18.00 sore.
Perasaan takut kembali menghantui perjalanan Didik. Pesawat itu suaranya lebih keras dibanding pesawat lain pada umumnya. Sekitar satu jam di perjalanan pesawat mulai mendekati tujuan. Pada saat itu hujan deras sekali. Dari balik jendela saya bisa melihat hujan deras dan sebentar-sebentar terlihat kilat.
Saat pesawat mendarat, semua berubah menjadi ketakutan. Pesawat semakin kencang dan kemudian ada suara keras, lampu mati. Teman saya mengambil lampu dan mengarahkannya pada para penumpang di depannya. Disana terjadi kekacauan.
Laksana alam ini tahu bahwa kuburan menjadi persinggahan pesawat Lion Air yang siap menampung orang-orang mati. Kejadian yang begitu mencekam bagi Didik.
Ada 26 korban meninggal dan puluhan orang lainnya luka-luka. Sebagian besar orang yang meninggal ada di tempat duduk nomor 10 ke depan. Kalau saya mati pada saat itu, Tuhan pasti tidak menerima saya karena banyak kehidupan-kehidupan yang memalukan yang saya lakukan terhadap Tuhan.
Namun dibalik tragedi ini, Tuhan sesungguhnya ingin berbicara pada Didik. Pada pukul 04 dini hari, di tengah kegelisahan dan firasat buruknya, Didik mengambil satu tindakan tepat. Saat firasat buruk sempat menghantui pikiran Didik sebelum keberangkatan, Didik hanya bisa berdoa.
Detik-detik saat pesawat landing Saya merasakan ketakutan yang amat sangat, dan saya hanya berdoa : "Tuhan, tolong selamatkan saya! Tuhan tolong selamatkan saya!"
Itu membuat Tuhan membuka hati saya dan memberi saya kesempatan. Saat Didik menaruh segala kekuatirannya pada Tuhan melalui doa, disanalah keselamatan berpihak kepadanya, bahkan tidak ada sedikitpun luka yang ia alami.
Didik menyadari semua ini adalah mujizat Tuhan Tuhan ingin menunjukkan bahwa Dia sanggup meluputkan saya dari kematian. Tuhan tangkap saya, Tuhan lindungi saya dari kecelakaan tersebut, bahwa keselamatan ada di dalam Dia. Saya mulai mengubah pola pikir saya bahwa hidup ini bukan milik saya. Hikmahnya adalah saya harus lebih baik, saya harus lebih mengerti kehendak Tuhan dalam hidup saya. |